Sejak pengesahannya yang begitu tiba-tiba pada tahun 2009, Undang-Undang Perfilman telah melahirkan banyak kebingungan. Para pelaku industri film, yang notabene adalah pemangku kepentingan yang hakiki dari undang-undang ini, merasa tak diberi cukup waktu untuk mempelajari dan memberi masukan terhadap naskah undang-undang yang waktu itu tengah digarap. Lewat jentikan sekilas, tahu-tahu DPR sudah mengesahkan naskah tersebut menjadi undang-undang baru.
Kurangnya perhatian pada kebutuhan, saran, dan aspirasi para pembuat film tak pelak menyulut kejengkelan beberapa sineas, khususnya sineas yang sudah kenyang berjibaku dengan aturan perfilman di negeri ini. Mereka kesal pada beberapa artikel dalam Undang-Undang Perfilman yang dianggap mengekang kebebasan para sineas dalam berkarya. Dalam pernyataannya yang dimuat di The Jakarta Post (6 September 2009), Christine Hakim, salah satu aktris dan produser terkemuka Indonesia, membeberkan fakta bahwa komunitas film dan para pelakon layar lebar tak pernah dilibatkan dalam diskusi apapun mengenai Undang-Undang Perfilman. Kekesalan ini berujung pada protes yang diwarnai aksi mogok dan berbagai konferensi pers lengkap dengan petisi pedas untuk pemerintah.
Aura ketidaksepakatan juga melibatkan penulis skenario kawakan Salman Aristo, yang dalam wawancaranya dengan The Jakarta Post (29 Oktober 2009) menegaskan bahwa undang-undang tersebut akan sangat menghambat kreatifitas dan kebebasan berekspresi. “[draf undang-undang] ini sungguh mengerikan. Kami masih berjuang menghentikannya. Bayangkan, anda tidak bisa membuat film kalau tak pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah film. Pemerintah berhak menentukan film apa yang boleh dibuat dan siapa yang boleh menggarap film tersebut. Kita juga diharuskan punya sertifikat dan cap sah dari pemerintah agar skenario kita bisa diproduksi. Pemerintah berdalih bahwa kewajiban “mengumpulkan” skenario tersebut bertujuan untuk menghindari adanya film berjudul sama yang dibuat pada waktu yang bersamaan. Saya curiga pemerintah ingin kembali berkuasa penuh atas kita. SBY memang tampak lebih bijak dan lembut, tapi kebijakannya sangat mengekang kebebasan berekspresi. Ini jelas peninggalan Orde Baru.”
Media cetak maupun elektronik kontan menyerbu para praktisi industri film, arus utama maupun arus pinggir. Para akademisi berbondong-bondong melayangkan permintaan wawancara. Usaha gigih mereka membuahkan hasil yang tidak mengecewakan. Disamping melahirkan berbagai analisa kritis, mereka juga menyediakan berbagai saran mengenai perumusan tata kelola yang efektif untuk kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang.
Serangan gencar lewat media ini tak kurang mendapat tanggapan dari pemerintah. Pemerintah memprakarsai berbagai konferensi pers yang menegaskan bahwa Undang-Undang Perfilman tahun 2009 dibuat sebagai panduan utama dalam merangsang perkembangan industri film nasional. Pernyataan pemerintah ini didukung oleh para birokrat dan kubu-kubu tertentu dari kelompok pelaku industri.
Terlepas dari hiruk-pikuk tersebut, hampir semua pihak menyepakati dua hal. Pertama, mereka menyuepakati bahwa undang-undang kenegaraan sepatutnya selalu tampil sejelas dan seefektif mungkin. Kedua, mereka menyepakati bahwa Undang-Undang Perfilman tahun 2009 sama sekali bukan undang-undang yang jelas apalagi efektif.
Di sinilah letak kesukarannya. Dua tahun setelah angkat sauh melayari samudera industri, belum ada seorangpun yang mengetahui kemana industri ini akan dibawa. Semua orang masih riuh bertanya, seperti apa implementasi undang-undang yang telah dijanjikan?
Para pembuat film dan penegak hukum seakan berlayar dengan mata tertutup. Mereka tak tahu bagian mana yang relevan untuk diterapkan dan mana yang tidak. Mereka bimbang menentukan aturan apa yang seharusnya mendukung undang-undang yang seperti apa. Semua bahtera sudah berlayar, tapi mereka tak ingat mau kemana. Sepanjang mata memandang, gunung es jualah yang tampak di mata. Lantas mau apa?
Ada baiknya menanyakan hal ini pada mereka yang sudah cukup lama menenggak asam garam lautan industri film. Apa sebenarnya undang-undang film itu? Apa gunanya? Bagian mana yang efektif dan seberapa banyak yang sudah dilaksanakan? Bagian mana yang tidak masuk akal? Kenapa?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang ingin kita telusuri dalam artikel ini. Di akhir artikel anda juga bisa menengok Undang-Undang Perfilman yang tengah kita perbincangkan ini.
Kita akan mendengar pendapat Eric Sasono, akademisi, kritikus, dan programmer festival film. Kita juga akan mencerap tinjauan Alex Sihar, aktivis film yang sudah termasyhur militansinya. Ia turut mendirikan Yayasan Konfiden (Komunitas Film Independen) dan aktif di BPI (Badan Perfilman Indonesia), lembaga anyar bentukan pemerintah yang saat ini baru saja memulai fase strukturisasi. Alex Sihar juga mengetuai Komite Film di Dewan Kesenian Jakarta. Sayangnya, pihak pemerintah dalam hal ini Direktorat Perfilman tidak bersedia memberi komentar meski telah dihubungi berulang kali.
Menurut Alex Sihar, efektifitas Undang-Undang Perfilman belum bisa diukur karena belum ada poin-poin yang sudah dilaksanakan. Efektifitas sebuah undang-undang, menurut Alex, baru bisa diukur ketika poin-poin tertentu sudah diimplementasikan di lapangan dan hal itu tidak kita dapati pada Undang-Undang Perfilman tahun 2009.
Hal senada diungkapkan Eric Sasono. “Secara umum, Undang-Undang Perfilman ini tidak realistis sebab tidak berbasis pada keadaan industri film saat ini. Saya melihat, ada tiga motif utama yang melatarbelakangi dibuatnya undang-undang ini. Pertama, untuk mengurangi monopoli distribusi dalam industri film. Kedua, sebagai alat pemerintah untuk mengklaim bahwa merekalah yang berandil dalam kemajuan perfilman nasional – yang sama sekali tidak terbukti. Ketiga, sebagai usaha untuk menerapkan sistem kuota yang sesungguhnya sangat tidak realistis. 60 persen layar bioskop bakal diharuskan menayangkan film Indonesia. Bagaimana mungkin kita bisa balik lagi ke aturan itu sementara komposisi bioskop di Indonesia sekarang sudah berubah drastis? Sistem kuota baru bisa diterapkan kalau bioskop sudah bisa berdiri sendiri tanpa menumpang di pusat perbelanjaan. Sekarang ini kan bioskop bergantung pada ruang komersil dan bukan ruang publik yang mandiri.”
Selain sistem kuota, kedua ahli perfilman ini juga mengomentari problematika lain di dalam Undang-Undang Perfilman.
Alex Sihar mengutarakan, “Undang-Undang Perfilman butuh banyak sekali mekanisme implementasi yang memungkinkan sebuah aturan untuk bisa diterapkan. Masalahnya, hingga kini belum ada satupun mekanisme implementasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Saya tak tahu mengapa, harusnya pemerintah, dalam hal ini Direktorat Perfilman, tahu betul sebab-musababnya. Pemerintah seharusnya sudah mengeluarkan mekanisme implementasi paling lambat satu tahun setelah disahkannya undang-undang terkait, namun sampai saat ini belum keluar juga.”
Menanggapi hal serupa, Eric Sasono berpendapat lain. Menurutnya ada beberapa potensi yang menarik untuk dicatat, terutama menyangkut relasi Undang-Undang Perfilman dengan aktifitas film yang bersifat independen dan non-komersial. Undang-Undang Perfilman memungkinkan komunitas film independen untuk memiliki ruang gerak yang lebih luas. Meskipun pada prakteknya tidak akan seragam sebab masing-masing pemerintah daerah memiliki kebijakan yang berbeda, namun setidaknya sudah ada dukungan terhadap komunitas film yang selama ini menjadi tulang punggung pergerakan film non-komersial. Komunitas film diberi hak untuk menyampaikan aspirasi demi terwujudnya regulasi yang bermanfaat bagi semua pihak. Untuk mewujudukan potensi itu, dibutuhkan mekanisme implementasi yang jitu. “Kalau terwujud, itu kan pluralisme besar-besaran,” tegas Eric.
Alex Sihar menambahkan, “Salah satu agenda dalam Undang-Undang Perfilman yang harus didukung adalah pembentukan BPI (Badan Perfilman Indonesia) sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 68 dan 69. Keberadaan BPI akan sangat membantu perkembangan industri film di Indonesia.”
Sebagaimana Eric, Alex juga menunjuk beberapa titik yang ia nilai tidak relevan dengan kondisi industri film di Indonesia saat ini. Pada Pasal 2 dan 3, dijelaskan bahwa pemerintah berkewajiban melindungi dan memfasilitasi setiap produksi film. Sementara pada Pasal 17 tertera bahwa pembuat film wajib melaporkan judul, isi, dan rencana produksi film kepada Kemenbudpar sebelum memulai proses produksi. Dalam konteks ini, Pasal 17 akan terdengar bertentangan dengan Pasal 2 dan 3. “Setelah saya telusuri, ternyata Pasal 17 bertujuan untuk mengindari adanya dua film berjudul sama yang dibuat pada waktu yang sama, yang menurut saya, so what? Lantas kenapa?” Cetus Alex tegas.
Dari uraian di atas, sangat jelas apa yang diinginkan oleh pihak yang selama ini menganggap Undang-Undang Perfilman telah salah susun. Mereka mendambakan mekanisme implementasi yang gamblang untuk memetakan arah industri film. Sebelum ke sana, ada baiknya kita mengumpulkan saran dari sebanyak mungkin pelaku industri untuk menentukan kadar relevansi dari Undang-Undang Perfilman yang (seharusnya) sudah berjalan. Tidak menutup kemungkinan, kita perlu mengubah undang-undang demi tercapainya kemaslahatan bersama.
Sebaliknya, para penyokong Undang-Undang Perfilman yang notabene berasal dari lembaga pemerintah bersikeras untuk tetap berkonsentrasi penuh pada masalah monopoli distribusi, sensor, perbaikan standar produksi film, serta dukungan negara kepada para pembuat film. Celakanya, mereka melakukan itu tanpa memikirkan hal-hal yang lebih mendasar yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh semua insan perfilman. Walhasil, sebagian besar pembuat film, kritikus, dan akademisi berdiri bersama menentang Undang-Undang Perfilman ini. Mereka mencemooh para birokrat yang pura-pura bijak padahal sebenarnya tengah membangun jembatan emas menuju kebangkrutan industri film nasional.
Terlepas dari aura negatifnya, ada satu poin dari Undang-Undang Perfilman tahun 2009 yang sudah mulai dijalankan. Poin itu adalah pembentukan Badan Perfilman Indonesia (BPI). Sebagai badan tertinggi yang sejajar dengan Direktorat Perfilman, BPI memanggul tanggung jawab yang sangat besar untuk menciptakan regulasi yang nyaman bagi industri perfilman di negara ini.
Selanjutnya tinggal memperjelas pembagian kerja dan tanggung jawab BPI agar efektifitas optimal bisa tercapai. Tergantung nanti bagaimana BPI dikelola, bila tata kelolanya baik, maka berkembanglah industri film. Sebaliknya, bila tata kelolanya boyak, maka menderitalah industri film. Semuanya berjalin-kelindan membentuk wajah sinema Indonesia di masa depan.
Sudah sepatutnya kita memberi semangat pada BPI agar bisa bertugas dengan baik di tengah ketidakberesan Undang-Undang Perfilman yang kita punyai.
Kami sangat mengharapkan pendapat dan sumbangsih saran dari anda tentang apa yang seharusnya kita lakukan agar Undang-Undang Perfilman bisa berjalan dengan baik. Kotak saran di bawah ini mutlak milik anda. Silakan!
Paul Agusta
(diterjemahkan oleh Makbul Mubarak)
- 5 September 2011
Ref.:
Undang Undang Perfilman No. 33 Tahun 2009